Hari Raya Galungan mempunyai makna memperingati kemenangan Dharma
melawan Adharma, secara rohani manusia mengendalikan hawa nafsu yang
sifatnya mengganggu ketentraman batin yang nantinya berekspresi dalam
kegiatan sehari-hari baik secara individu maupun kelompok.
Hawa nafsu dalam diri kita dikenal dengan nama Kala tiga yakni tiga
macam kala secara hersama-sama dimulai sejak hari Minggu sehari sebelum
penyajaan, hari Senin dan berakhir hari Selasa (Penampahan Galungan).
Yang dimaksud tiga kala yakni:
Kala Amangkurat yakni nafsu yang selalu ingin berkuasa, ingin
menguasai segala keinginan secara batiniah dan nafsu ingin memerintah
bila tidak terkendali tumbuh menjadi nafsu serakah untuk mempertahankan
kekuasaan sekalipun menyimpang dari kebenaran.
Kala Dungulan yang berarti segala nafsu untuk mengalahkan semua yang dikuasai oleh teman kita atau orang lain.
Kala Galungan yakni nafsu untuk menang dengan berbagai dalih dan cara yang tidak sesuai dengan norma maupun etika agama.
Hari raya Galungan memang dirayakan sebagai hari raya kemenangan
Dharma melawan Adharma, kalahnya keangkaramurkaan yang oleh Mpu Sedah
disebut sebagai “Kadung gulaning parangmuka” lebih jauh dijelaskan
musuh yang dimaksud adalah musuh-musuh yang ada pada diri manusia yang
terlebih dahulu harus dikalahkan. Musuh dimaksud adalah : nafsu
(kama), marah (kroda), keserakahan (mada), irihati (irsya) atau
semua tergolong dalam Sadripu maupun Satpa Timira
Sebagaimana kita ketahui kisah tersebut telah tertuang dalam kitab
mahabharata yang termasuk ltihasa sangat utama dalam sastra Hindu.
Dalam kitab tersebut tertulis betapa perjuangan Pandawa dalam memerangi
Adharma untuk menegakkan Dharma.
Sang Darma Wangsa adalah keluarga yang selalu menegakkan dharma
beliau bekerja, berjuang dan berkeyakinan bahwa kebenaran akan selalu
menang (Satyam eva Jayate). Lain halnya dengan maha kawi Danghyang
Nirartha, beliau melahirkan sebuah karya kekawin Maya Danawantaka,
Dalam ceritanya dikisahkan seorang pertapa yang teguh melaksanakan tapa
di punggung gunung Ksitipogra dan pusat pemerintahannya diseputaran
danau Batur daerah Kintamani, Bangli di Bali. Setelah dia mendapat
anugrah dalam pertapaannya ternyata kelobaannya menjadi-jadi, sehingga
rakyatnya di wilayah pemerintahannya menjadi ketakutan, Si Mayadanawa
tidak hanya mengumpulkan emas, kekayaan, dia melarang melakukan yadnya,
bersama tentaranya merusak, mengacau, menyakiti, menghina sastra dan
ajaran agama.
Oleh karena kejahatannya, diutuslah Dewa Indra untuk memeranginya.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara pasukan Dewa Indra
dengan Mayadenawa. Karena kesaktiannya Mayadanawa menciptakan tirta
cetik, sehingga pasukan Desa Indra yang sedang kehausan meminumnya,
semua pasukan Dewa Indra Mati. Singkat cerita Dewa Indra mengetahui
kejadian tersebut sehingga Dewa Indra menciptakan tirta empul (pengurip)
yang sekarang disebut tirta empul, diperciki pasukan yang mati hidup
kembali. Peperangan harus berlanjut sehingga Mayadanawa terkepung
tentaranya mati, dia lari tunggang langgang segala macam taktik tipu
muslihat dipergunakan. Mayadanawa lari agar tapak kakinya tidak
dilihat, dia berjalan dengan tungkai yang miring namun tetap diketahui oleh
Pasukan Dewa Indra sehingga sebagai bukti tempat itu sampai sekarang
disebut desa Tapak Siring (Tampak Siring) asal kata dan telapak kaki
miring. Kemudian Maya Danawa lari bersembunyi di pohon kelapa pada
pucuk kuncup/pada busung kelapa tetap dapat dilacak oleh pasukan Dewa Indra sampai sekarang tempat itu dinamakan desa Blusung. Akhir cerita
karena Mayadenawa dipihak yang salah peperangan dimenangkan oleh
Pasukan Dewa Indra dan Mayadenawa mati. Demikian sejarah hari Galungan.
Menyambut hari Raya Galungan umat Hindu hendaknya benar-benar dapat
mengendalikan tiga nafsu ingin berkuasa, ingin mengalahkan, ingin
menang sehingga di hari Rabu/di hari Galungan dapat menegakkan dan
mengibarkan panji-panji kemenangan dan kemerdekaan spiritual. Kita
dapat melepaskan pikiran kita dari kesusahan, sehingga merasa tenang,
tenteram gembira baik secara individu, keluarga, serta seluruh umat
agar dapat menatap, merencanakan hari depan semakin cerah. Sebagai
simbul kemenangan, kegembiraan, rasa syukur sehari sebelum Galungan
umat Hindu menancapkan Penjor-penjor di pintu gerbang/jalan masuk
halaman rumah yang mempunyai makna segala sumber kehidupan disediakan
di bumi, penjor sebagai lambang gunung yang merupakan segala sumber
kemakmuran yang diperlukan oleh seluruh mahluk. Gunung sebagai sumber
sandang, pangan dan papan, penghasil udara dan air oleh karena itu
disimbulkan dengan penjor dengan segala hiasan sesuai seni dan budaya
umat Hindu masing-masing, dilengkapi dengan hasil bumi pala bungkah
(umbi-umbian) dan pala gantung (buah-buahan) dan juga dilengkapi dengan
kain putih kuning yang melambangkan panji-panji keheningan
ketulus-ikhlasan dan kesucian rohani.
Hari Galungan juga merupakan hari Pewedalan Jagat/hari ulang
tahunnya Jagat raya. Oleh karena itu umat Hindu dihari Galungan
melaksanakan upacara, menghaturkan sesajen sesuai peruntukannya yang
ditujukan sebagai ungkapan perasaan bakti, sujud, kagum dan bersyukur
terhadap Jagatraya yang diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi, Kita pahami Jagatraya
sebagai tempat untuk hidup, memberikan segala sumber penghidupan untuk
itu dihari Galungan sangat baik melakukan dana punia baik berbentuk
materiil, maupun berupa pengabdian/jasa. Karena dalam bentuk apapun
dana punia itu diberikan yang tujuannya untuk kesejahteraan umat,
ketenangan nilainya sangat tinggi bila diberikan secara tulus ikhlas.
Seperti dikatakan dalam Slokantara sloka ke 33″ yaitu :
“Jika diwaktu bulan purnama dan bulan mati (tilem) para dermawan
memberikan dana punia akan diterima kembali balasannya satu lawan
sepuluh oleh Hyang Widhi. Kalau waktu gerhana bulan dan gerhana
matahari akan dikembalikan seratus kali, jika pengorbanan dilakukan
pada hari-hari pemujaan arwah leluhur balasannya seribu kali, kalau
dilakukan pada akhir zaman Kaliyuga akan dikembalikan dalam jumlah yang
tidak terhingga”.
Yadnya dan dana mempunyai makna hampir sama yadnya lebih condong
pada upacara sedangkan dana pemberian berupa materi. Bila kita berdana punia
untuk pemeliharaan atau perkembangan Pura berarti kita sudah bakti
kepada Tuhan, karena pura merupakan tempat pemujaan maha Pencipta.
Pemberian dana yang ditujukan kepada kegiatan sosial seperti membantu
orang miskin, memberi pertolongan kepada orang yang sedang dilanda
kesusahan merupakan bentuk Dana punia yang sangat tinggi nilainya.
Dana punia yang diberikan dalam bentuk ilmu pengetahuan sehingga orang
menjadi pintar, trampil sehingga bisa hidup sendiri nilainya lebih
tinggi pula. Karena itu umat Hindu dimana saja berada kita hendaknya
dapat berperan dan mengambil bidang masing-masing untuk beryadnya,
berdana punia sesuai kemampuan dan kapasitas kita, diberikan kepada
siapa saja yang memerlukan yang dilandasi dengan ketulus-ikhlasan.
Jangan beryadnya menyusahkan diri sendiri atau memaksakan diri, karena
dana punia yang demikian tidak bermanfaat. Kita sadari tujuan hidup Umat
Hindu adalah untuk mencapai kesejahteraan rohani dan jasmani,
kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar