Sabtu, 23 Juni 2012

Perjalanan menuju sejarah masa lalu

Lama juga g nulis d blog mungkin karena sekarang aku sibuk dengan skripsi TA bahkan toko kecil-kecilan yg baru aja aku geluti. Beberapa waktu yang lalu aku melakukan perjalanan kecil ke pulau Nusa Penida untuk bersembahyang di Pura disana suatu perjalanan religi yang unik menarik sekaligus seru di bumbui pemandangan indah damai gak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata karena saking serunya disana. Masih berbekas dalam ingatanku bagaimana suasana disana begitu tenang tampa hiruk pikuk bising perkotaan seperti kota Denpasar ini. Disana di Pulau Nusa penida bukan hanya ketenangan yang aku dapatkan melainkan sebuah perjalan sejarah, yang mungkin di antara kita sudah tidak lagi mengingatnya.

Sedih? Mungkin tapi bukan waktunya kita bersedih karena kita lupa akan sejarah yang dulu pernah ada justru saat ini kita sebagi generasi muda mesti melestarikan jangan terlalu jauh cukup dengan tau saja sudah cukup agar kita bisa memberikan cerita pada anak cucu kita nanti supaya kita tidak melulu mengungkapkan kata "nak mule keto" perlu kita sadari sekarang adalah jaman kaliyuga dimana Bumi kita ini sudah semakin tua banyak pertengkaran yang terjadi bukan hanya antar ras atau golongan tertentu akan tetapi terkadang juga terjadi pertentangan antara diri kita sendiri. Dalam perjalanan ini aku merenung berjuta pertanyaan muncul di dalam fikiranku, lucu yah selama ini aku selalu kekanakan egois jujur aku sendiri menyesali sikapku gak bisa dipercaya aku seperti itu dalam pergolakan fikiranku yang mulai gak fokus terbayang sebuah pertanyaan dalam hati bagaimana kehidupan orang-orang masalalu disini di Pulau Nusa Penida mulailah aku penasaran dengan apa yang terjadi dimasalalu dengan daya imajinasi melayang-layang aku bertemu dengan seorang Pemangku Pura Giri Putri beliau bercerita panjang lebar tentang sejarah Pura Giri Putri yang menurutku begitu luar biasa begitu mengagumkan tidak hanya Bali yang mempunyai pesona luar biasa akan tetapi disini juga penuh dengan pesona spritual. Dalam ceritanya beliau kadang membuatku tersenyum geli sekaligus kagum akan tetapi tidak terlepas dari sejarah ini bisa dibuktikan dalam beberapa Purana. Beliau bercerita didorong rasa Bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi serta tujuan yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai pelestarian nilai budaya daerah dalam kehidupan berbudaya dan ber-agama yang terangkum menjadi budaya nasional kalau gak kita para pemuda siapa lagi yang mau melestarikan budaya, sebelum saya ngalor ngidul ngomong gak karuan-karuan.
Dengan kerendahan hati demi kesempurnaan di kemudian hari dan semoga fikiran yang hening datang dari segala penjuru.

Sejarahnya saya kutip dari buku yang di tulis oleh Drs. I Wayan Putera Patra
1. RATU GEDE
         Di dalam babad di sebutkan pertama-tama di tanah Nusa ada seorang Pangeran Hindu bernama pangeran Jumpungan tinggal di gunung Kila. pada suatu hari ketika beliau medwijati lalu bergelar Dhukuh , tersebutlah ada seorang putra beliau sebagai penguasa Nusa Penida hingga beliau di gelari Bhatara Sakti di Nusa. Dhukuh Jumpungan juga ahli membuat perahu, hingga beliau membuat tempat berlabuh di Penida dan di Ceningan. Dhukuh mempunyai Istri yang bernama Ni Puri. Dari perkawinannya ini melahirkan pangeran Merja, dan pangeran Merja mempunyai istri yang bernama Ni Luna. Dari perkawinan pangeran Merja dengan istri Ni Luna lahir seorang pangeran Undur dan seorang putri bernama Dyah Ranggini. Sang pangeran mempunyai istri yang bernama ni Lumi, sedangkan sang putri diambil istri menjadi permaisuri oleh Dalem Sawang. dari perkawinan pangeran Undur dengan istrinya, melahirkan PaNgeran Renggan.
       Ratu Gede Mecaling yang juga disebut Ratu Sakti ring Nusa adalah putra dari pangeran Renggan dan Istrinya Ni Meraim. Ratu Gede Macaling mempunyai saudari bernama Ni Tole yang menikah dengan pangeran Miya di Jungutbatu. Setelah pangeran Renggan berada di Bias Menting, mempunyai putra yang bernama pangeran Gotra. keturunan Dhukuh Jumpungan yang lain adalah pangeran Jurang bertempat di Bukit Biya, Ni Luh Puri di Goa Lawah, Pangeran Yangga di Padang, Ni Runa di Sakenan, dan pangeran Cenes di Segara. Kekuasaan di Nusa penida diberikan kepada Ratu Macaling yang berkedudukan di Peed.
       Pangeran Gotra pindah dari Bias Menting ke Medau dan mendirikan wisma disana, pangeran Gotra bergelar pangeran Yehe saat di Medau. Kemudian pangeran pindah lagi ke Lembongan dan mendengar kabar bahwa istana Gelgel di datangi oleh Pendeta sakti yang bernama Danghyang Nirata yang datang dari Jawa.  Pangeran Gotra lalu pergi ke Gelgel untuk berguru kepada Danghyang Nirata, oleh dalem Gelgel pangeran Gotra diberikan tempat di tepi sungai yehe di swecapura.
      Ratu Macaling mewarisi segala ilmu yang dimiliki oleh Dhukuh Jumpungan yaitu kesaktian kanda sanga , mempunyai panjak segala serangga dan hama , wong samar, serta panjak lainnya berupa bebhutaan.
2. Sri Aji Dalem Dukut
    Diceritakan diatas bahwa cucu Dhukuh Jumpungan bernama Dewi Dyah Ranggini dipersunting oleh Sri Aji Dalem Sawang putra dari Bhatari Rohini beliau merupakan raja yang sangat menyayangi rakyatnya beliau juga sayang terhadap keluarganya yaitu pangeran Renggan dan Renggin, rupanya pangeran Renggan dan Renggin merasa sangat hebat dan ingin menguasai Bali dengan mengadu kesaktian dengan raja Bali (Hyang Gunung Ratu).
Pada suatu hari pangeran Renggan dan Renggin mengumpulkan pasukan terdiri dari bendega dan sejumlah tentara dengan armada perahunya menyerang Bali.Dari sumber babad yang lain menyebutkan bahwa kedua pangeran ini menggunakan semedi dan mantra untuk membuat gempa serta mengirimkan serangga untuk menyerang Bali. Hal ini membuat Hyang Gunung Ratu murka dan membalas dengan menciptakan api dari kekuatannya sehingga mampu menghanguskan seluruh serangga yg dikirimkan saking banyaknya serangga yang terbakar menjadi abu membentuk bukit yang di sebut Bukit Pawon(gosong). Hyang Gunung Ratu juga menciptakan angin puting beliung yang membuat armada perahu kedua pangeran hanyut tak terkendali ke arah selatan dan akhirnya karam.Beberapa anak buah kapal juga hanyut kepantai Nusa dengan berenang akan tetapi mereka dikenai supata(pastu/kutukan) menjadi bala samar, yang bertugas menjaga Nusa, bala samar ini diperkenankan memperoleh makanan dengan memakan isi perut manusia sehingga hal ini membuat rakyat nusa sangat ketakutan.
        Kengerian dan ketakutan rakyat Nusa akan bala tentara samar ini yang memakan banyak korban membuat raja di Bali yaitu Sri Topulung, yang bergelar Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang berkedudukan di Bata Anyar Bedulu Gianyar merasa prihatin karena Dalem Sawang memperkenankan Wong Samar meminta korban maka beliau mengambil tanaman rumput yang di sebut Padang Kasna dan diciptakanlah dari rumput ini seseorang yang rupawan dan bersifat kesatria diberi nama pangeran Dukut.
Pangeran Dukut di utus untuk membebaskan rakyat Nusa dari kesengsaraan, dengan ini pangeran harus beradu kesaktian dengan Dalem Sawang, dalam pertempuran ini Dalem Sawang mengalami kekalahan tampa ada penerusnya.
       Dengan mangkatnya Dalem Sawang membuat ibundanya yaitu Bhatari Rohini sangat berduka karena putranya telah terbunuh maka untuk melampiaskan kemarahannya di bocorkannya danau kelaut walaupun rakyat Nusa berusaha membendung supaya tidak bocor akan tetapi tetap saja tidak bisa sehingga Pulau Nusa menjadi kering.
      Dalem Dukut atau Sri Aji Dalem Dukut menguasai kerajaan yang ditinggalkan Dalem Sawang yang mangkat akibat kalah dengan Dalem Dukut. Sri Aji Dalem Dukut memerintah Nusa akan tetapi setelah lama memerintah ternyata Dalem Dukut sangat kejam dengan rakyatnya, hal ini di dengar oleh raja Bali yaitu Dalem Waturenggong beliau prihatin dengan keadaan ini sehingga mengirimkan patihnya Ki Gusti Paminggir dan Ki Gusti Kulon serta dengan tentara berjumlah 1800 orang setibanya di Nusa pasukan memporak porandakan rumah penduduk membuat rakyat Nusa semakin menderita hal ini membuat Dalem Dukut marah dan memerintahkan pasukan Wong Samar mengusir mereka dengan bersenjatakan pedang api serta menyebarkan penyakit yang menyerang pasukan Ki Gusti Paminggir sehingga banyak pasukan meninggal hal ini juga merenggut nyawa Ki Gusti Paminggir akhirnya dengan sisa-sisa pasukan yang dipimpin Ki Gusti Kulon mundur kembali ke Bali serta melaporkan kekalahan kepada raja Bali Dalem Waturenggong, lalu beliau memberikan penghargaan kepada pasukan yang telah gugur dengan mendirikan pura bernama Pura Dalem Prajurit.
     Dengan gagalnya pasukan Ki Gusti Paminggir maka Dalem Waturenggong mengutus Kyayi Ngurah Jelantik bersama Arya Tan Wikan Guna disertai istri dari Kyayi Ngurah Jelantik yaitu Ni Gusti Ayu KaLer dengan pasukan yang hanya 200 orang Kyayi Ngurah Jelantik juga membawa pusaka keris bernama Cacaran Bangbang, hadiah dari Dalem Waturenggong yang dulunya pemberian dari raja Majapahit (Shri Hayam Wuruk) setibanya di Nusa Beliau menghadap Dalem Dukut dengan sopan menyampaikan bahwa ia adalah utusan dari Dalem Bali.Lantaran kedatangannya sangat sopan membuat Dalem Dukut serba salah dan berkata dalam hati tidak akan menyesal meninggalkan dunia ini jika dikalahkan kesatria ini dan beliau berpesan jika ia meninggal dunia maka rakyat akan diserahkan kepada Dalem Bali dengan syarat agar setiap tahun mengadakan upacara mecaru dan bila tidak dilakukan maka wong samar akan mencari korban dan menyebarkan wabah penyakit yang sangat mengerikan di seluruh Bali. Lalu beliau Dalem Dukut melaksanakan pembersihan diri. Kedua kesatria itu berbincang dan bersantap makan bersama-sama. Setelah itu dimulailah adu tanding antara keduanya dengan kesaktian masing-masing hanya diantara kedua kesatria itu saja tentunya disaksikan kedua pasukan kedua pihak tampa turut campur pasukannya adegan pertarungan sangat sengit beberapa kali tubuh Dalem Dukut terkena senjata Cacaran Bangbang namun sayang tubuh Dalem Dukut tak dapat dilukai beliau tidak dapat dilukai oleh senjata buatan pande atau dari besi. Melihat situasi tersebut Istri Ki Ngurah Jelantik teringat akan keris miliknya yang bernama Ki Pencok Saang yang didapatkan di Pura Besakih, lalu ia menyarankan suaminya menggunakan keris miliknya melihat Ki Pencok Saang Dalem Dukut tahu kalau waktunya telah tiba kembali ke alam niskala, denga tertawa beliau melanjutkan perang tanding, tawa Dalem Dukut menggelagar bagai petir membahana dan karena keris Pencok saang sangat ampuh saat ditikamkannya keris tersebut ketubuh Dalem Dukut seketika itu juga beliau mangkat dan kembali ke alam niskala. Dengan mangkatnya Dalem Dukuh dibangunlah pura khayangan untuk beliau Dalem Dukut yang diserahkan kepada Dalem Bali, untuk itu raja mengutus Anak Agung Raka Tong untuk mengurusnya. Demikian tulisan ini dikutip dari Drs. I Wayan Putera Prata, putra kelahiran Nusa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar